Yang (Ternyata) Tak Pernah Diikhlaskan
dulu ia singgah dengan sebuah pena dan kuas, sekedar saja agar setiap rantai peristiwa itu memorinya tak pudar begitu saja. lalu setiap pagi ia telah menunggu, pada teras rindu, kalau - kalau aku lupa bahwa setiap hari ia ingin langitku punya warna nya masing - masing. ia tatap setiap dahan rambutku, setiap telapak lidah, setiap pelupuk hati, semata - mata agar jangan ada duri lain singgah; sebab katanya mataku punya gedung di dalamnya, dapat disimpan disana sejuta pasang mata.
lalu aku jadi benalu.
berlari meminta waktu agar cepat berlalu.
namun terus saja ia kembali, menawarkan sepi yang ingin dibagi. melukis dinding rumahku yang nampak di hadap nya saja. waktu - waktu air matanya jatuh percuma bersama harap iba namun tak kunjung juga ada. padanya masih tersisa aksara, dengan kata - kata riuh rendah memanggil hadirku yang tak kunjung menatap kembali. karena padanya hanya kusisihkan punggung tak bernama dan mentari hampir mati.
waktu - waktu ini.
yang memanggil ngeri.
setelah wajah - wajah manis menjadi pengisi. baru ada yang benar - benar nyata. saat jarak beranjak dari tempatnya dan waktu berbisik rahasia paling nestapa, ia adalah sebagian hidupku yang pulang pada pedihnya dengan sepenggal cinta diriku.
ia pergi dengan proses dewasaku yang paling dirahasiakan malam. ia pergi dengan jejak kaki kananku yang tak mungkin diterima kakiku yang lain. ia pergi dengan masa muda yang kata orang cuma datang sekali saja. dan setelah semua percuma, aku kini meminta, kembalikan aku, bawa aku kembali hidup, cin.
Satu Hari Nanti
mungkin satu hari nanti
aku tak lagi perlu mencari hadirmu
sebab kalau - kalau pagi tak sanggup menyuapiku
sebantal roti telah siap dari jemarimu
tak lupa secangkir kopi hitam dan sedikit gula?
mungkin satu hari nanti itu
tak perlu kuucap hari ini untukmu
sebab belum bisa kupenuhi rasa laparmu
hanya dengan sepucuk rasa
dan segudang tawa.
lalu aku jadi benalu.
berlari meminta waktu agar cepat berlalu.
namun terus saja ia kembali, menawarkan sepi yang ingin dibagi. melukis dinding rumahku yang nampak di hadap nya saja. waktu - waktu air matanya jatuh percuma bersama harap iba namun tak kunjung juga ada. padanya masih tersisa aksara, dengan kata - kata riuh rendah memanggil hadirku yang tak kunjung menatap kembali. karena padanya hanya kusisihkan punggung tak bernama dan mentari hampir mati.
waktu - waktu ini.
yang memanggil ngeri.
setelah wajah - wajah manis menjadi pengisi. baru ada yang benar - benar nyata. saat jarak beranjak dari tempatnya dan waktu berbisik rahasia paling nestapa, ia adalah sebagian hidupku yang pulang pada pedihnya dengan sepenggal cinta diriku.
ia pergi dengan proses dewasaku yang paling dirahasiakan malam. ia pergi dengan jejak kaki kananku yang tak mungkin diterima kakiku yang lain. ia pergi dengan masa muda yang kata orang cuma datang sekali saja. dan setelah semua percuma, aku kini meminta, kembalikan aku, bawa aku kembali hidup, cin.
Satu Hari Nanti
mungkin satu hari nanti
aku tak lagi perlu mencari hadirmu
sebab kalau - kalau pagi tak sanggup menyuapiku
sebantal roti telah siap dari jemarimu
tak lupa secangkir kopi hitam dan sedikit gula?
mungkin satu hari nanti itu
tak perlu kuucap hari ini untukmu
sebab belum bisa kupenuhi rasa laparmu
hanya dengan sepucuk rasa
dan segudang tawa.
Komentar
Posting Komentar