Luna

Luna segera saja mengusap kedua matanya dari pelipis hingga pelupuk, bertanya sejenak tentang peristiwa yang beberapa menit lalu terjadi.
"Benar hanya mimpi"
"Apakah nanti ada lagi waktu kita berucap tentang masa yang entah kapan, entah akan terjadi atau tidak, entah kau harapkan terjadi lagi atau tidak.", ucapnya lirih tanpa suara.
Ia harapkan lagi ada nampan berisi roti dan secangkir teh manis di meja yang beberapa kaki dari tempatnya melamun, nyatanya memang tak lagi mungkin. Tak apa bukan? Ia sekedar saja berharap masa - masa itu mengetuk pintu rumahnya dan mohon ijin masuk kembali dalam hidupnya. 

Sejenak ia mengadu pada dinding tentang hal yang benar - benar tak perlu. Lalu dipijakannya kaki pada lantai kayu jati yang berderit itu, setengah melayang ia mengambil selembar tissue, menyeka tetes - tetes air mata hadiah mimpinya. Ia menggapai pulpen dan kertas lalu duduk termangu memandang rangkaian memori itu dalam kumpulan foto yang tergerai setengah meter panjangnya. 

masa - masa kemarin
tak lagi kita hampir menghampiri
pelupuk dan derai angin
angan kini sisa benalu dinanti

air muka kita yang beranjak
tak sempat kau terima terakhir kuberucap
dan sisa - sisa kau beri jarak
hingga malam ini doa ku senyap

penghabisan kemarin ada seseorang bertamu
kukira langkah kaki itu kau
kini sepi mulai tiada
sesungguhnya hadirku pamit kemana?

Beberapa menit aksara itu dijadikan karya hingga diketuk pintu kamar itu, lelaki setengah dewasa berdiri tepat dihadapannya, tak lupa sepaket senyum dan suara setengah kering itu.
"Belum siap rupanya! Cepat - cepat! Ada suasana yang ingin kau jadi penikmatnya!"


Komentar

Postingan Populer