Cerita Kecil di Pojokan Buku
"dia menjadi satu hantaran semesta yang paling megah, indah dan tercipta cuma satu."
Pada siang hari yang menyengat pekat itu, terduduk seorang bocah murung di pojokan kelas bernampak megah. Disadari nya sejenak satu wajah yang kian hari kian menjadi lentera kecil, memberi nafas pada setiap semangat menggebu untuk terus hidup karena menjadi pengagum nya adalah satu asa yang putus walau telah dipanjatkan nya ketempat tinggi segala pinta.
Dia adalah dara penuh ceria yang mungkin dapat kita terka hanya dari lambai an tirai rambut kehitaman itu.
Lalu diajak nya dara itu untuk bersenda kecil dalam riuh rendah para murid yang baru menginjak kelas dua menengah keatas itu, dihaturkan nya pula secarik semangat karena pula saban hari jiwa nya penuh nafas penghidupan dara itu. Obrolan yang nampak formal tak berarah itu akhirnya menjadi bisu tersendirinya, seraya langkah kaki satu dari tiga puluh manusia paling ia benci di lingkungan itu, guru.
Maka yang ia kerjakan selanjutnya hanyalah membuang tinta juga gagasan tentang cinta tanpa arah, karena dalam lubuk nya hanya tergambar sebuah kepastian akan perpisahan dengan dara satu waktu yang pasti. Pula hal itu menjadi asa nya untuk membuang waktu terbanyak yang ia mampu untuk memasukan segala rasionalisasi tentang rasa.
Ya, rasa mendalam yang kini kita sebut sebagai penyakit menahun semua umat manusia, cinta.
Tertulis lah disana secarik doa yang paling sendu, menjadi sumbangsih terkecil yang dapat dilakukan seorang pengagum, mendoakan pedih agar menjauhi segala tempat hingga paling sempit dalam hidup dara yang paling mungkin dimasuki. Kini bocah murung kian resah, menanggapi penolakan semesta untuk memberikan dekap paling hangat untuk dara yang pundak nya pun tak mampu tergenggam.
Pada siang hari yang menyengat pekat itu, terduduk seorang bocah murung di pojokan kelas bernampak megah. Disadari nya sejenak satu wajah yang kian hari kian menjadi lentera kecil, memberi nafas pada setiap semangat menggebu untuk terus hidup karena menjadi pengagum nya adalah satu asa yang putus walau telah dipanjatkan nya ketempat tinggi segala pinta.
Dia adalah dara penuh ceria yang mungkin dapat kita terka hanya dari lambai an tirai rambut kehitaman itu.
Lalu diajak nya dara itu untuk bersenda kecil dalam riuh rendah para murid yang baru menginjak kelas dua menengah keatas itu, dihaturkan nya pula secarik semangat karena pula saban hari jiwa nya penuh nafas penghidupan dara itu. Obrolan yang nampak formal tak berarah itu akhirnya menjadi bisu tersendirinya, seraya langkah kaki satu dari tiga puluh manusia paling ia benci di lingkungan itu, guru.
Maka yang ia kerjakan selanjutnya hanyalah membuang tinta juga gagasan tentang cinta tanpa arah, karena dalam lubuk nya hanya tergambar sebuah kepastian akan perpisahan dengan dara satu waktu yang pasti. Pula hal itu menjadi asa nya untuk membuang waktu terbanyak yang ia mampu untuk memasukan segala rasionalisasi tentang rasa.
Ya, rasa mendalam yang kini kita sebut sebagai penyakit menahun semua umat manusia, cinta.
Tertulis lah disana secarik doa yang paling sendu, menjadi sumbangsih terkecil yang dapat dilakukan seorang pengagum, mendoakan pedih agar menjauhi segala tempat hingga paling sempit dalam hidup dara yang paling mungkin dimasuki. Kini bocah murung kian resah, menanggapi penolakan semesta untuk memberikan dekap paling hangat untuk dara yang pundak nya pun tak mampu tergenggam.
Komentar
Posting Komentar