subuh terakhir tahun dua ribu dengan sisipan lima belas.
kita telah meminta begitu banyak kali ini
aku dan serdaduku, kejatuhan untaian kenangan tanpa ujung.
mereka yang pernah singgah, pula tak pergi tanpa pelajaran.
lampu merah pun kini redup, tak ada lagi masa yang perlu berhenti agar dinikmat.
pula nadi - nadi masa muda mulai usang,
tak lagi melekat hangat.
"kita hampir ditinggal masa mendatang",
agar cepat beranjak.
disana, rumah singgah, telah tertata rapi kita,
sejawat pembangkang tatanan.
agar teringat, sinar kedatangan kita tak lagi hangat,
harus di tanah itu muncul api - api pembangkang cilik bukan?
bait terakhir, untuk hari itu, seragam terakhir.
tak sanggup kita pongah tanpa arah, karena sesaat kemudian kita dipaksa tanggalkan segala kuasa atas kebebasan yang ada.
maka sejak detik yang bersahaja itu,
kita mulai tak lagi berguyon agar perubahan akal; namun kini agar tak lupa ia dengan momen pertemuan mendatang,
atau tak lagi secangkir kopi dan kretek untuk menanti penjemput, namun untuk sesajen masa agar kembali. nyatanya tak mungkin,
atau tak lagi ransel lelah, bolpoin tak bertuan, dan seragam usang hanya alat pelengkap kejahilan; namun kini mereka bermetamorfosa menjadi sekedar penjinjing memori agar tak usang dimakan jaman.
dan kemudian,
kusisipkan bait kecil,
untuk perempuan itu,
yang memakan masa muda,
tak akan lagi sejak subuh esok, kusesal kita yang pernah ada.
ini masa muda punya kita. kau dengan ceritamu, aku dengan sajak - sajak pendek,
tak akan terjadi.
maka kusudahkan dengan selesai, tak lupa titik sebagai penutupnya;
nasib lagi - lagi miliki kesunyiannya masing - masing.
kupilih kau diantara yang banyak,
namun sebentar,
kita sudah dalam sepi terjaring.
aku pernah ingin benar padamu.
namun,
kita memang tak bisa lama bersama.
aku dan serdaduku, kejatuhan untaian kenangan tanpa ujung.
mereka yang pernah singgah, pula tak pergi tanpa pelajaran.
lampu merah pun kini redup, tak ada lagi masa yang perlu berhenti agar dinikmat.
pula nadi - nadi masa muda mulai usang,
tak lagi melekat hangat.
"kita hampir ditinggal masa mendatang",
agar cepat beranjak.
disana, rumah singgah, telah tertata rapi kita,
sejawat pembangkang tatanan.
agar teringat, sinar kedatangan kita tak lagi hangat,
harus di tanah itu muncul api - api pembangkang cilik bukan?
bait terakhir, untuk hari itu, seragam terakhir.
tak sanggup kita pongah tanpa arah, karena sesaat kemudian kita dipaksa tanggalkan segala kuasa atas kebebasan yang ada.
maka sejak detik yang bersahaja itu,
kita mulai tak lagi berguyon agar perubahan akal; namun kini agar tak lupa ia dengan momen pertemuan mendatang,
atau tak lagi secangkir kopi dan kretek untuk menanti penjemput, namun untuk sesajen masa agar kembali. nyatanya tak mungkin,
atau tak lagi ransel lelah, bolpoin tak bertuan, dan seragam usang hanya alat pelengkap kejahilan; namun kini mereka bermetamorfosa menjadi sekedar penjinjing memori agar tak usang dimakan jaman.
dan kemudian,
kusisipkan bait kecil,
untuk perempuan itu,
yang memakan masa muda,
tak akan lagi sejak subuh esok, kusesal kita yang pernah ada.
ini masa muda punya kita. kau dengan ceritamu, aku dengan sajak - sajak pendek,
tak akan terjadi.
maka kusudahkan dengan selesai, tak lupa titik sebagai penutupnya;
nasib lagi - lagi miliki kesunyiannya masing - masing.
kupilih kau diantara yang banyak,
namun sebentar,
kita sudah dalam sepi terjaring.
aku pernah ingin benar padamu.
namun,
kita memang tak bisa lama bersama.
Komentar
Posting Komentar