Yang Disembunyikan Rintik Hujan Bulan Juni. Bg 1.

YANG DIRAHASIAKAN RINTIK HUJAN BULAN JUNI.
By. Marcel Yonathan


            Pada tengah malam yang begitu sulit dicerna juga lebam terhajar hujan bulan Juni begitu keras mengantuk tanah, keringat bercucuran segar sejak anak manusia diatas kasur enam kali empat meregang menampik maut yang kian dekat raga. Tatapan nya kian kosong menghadap sandang yang ia pakai, hingga terpintas, pantas kah kemeja biru selutut ini ku ajak menghadap Yang Esa? Keringat kian bercucuran hebat.
            Maka nampaknya lakon kembali pada tiga puluh tahun yang silam, ketika kiranya setiap bocah berlarian lantang kian kemari, sosok rambut berbelah disamping bermata kemerahan sibuk menarik segala nikmat kesengsaraan nasib yang tak ada putusnya menikam nafas kecil nya bahkan sejak alam sadarnya baru mengenal kata bernama ‘rasa’. Sekonyong pula dihampirinya gadis mungil berkuncir dua yang terduduk di sebelah dipan lapangan rerumputan yang jadi pusat desa kecil tepian Jakarta. Tentu bukan Jakarta yang kini seluas dan semegah zaman edan ini toh?
            Dipanggil nya dara yang pemalu itu dengan kian lembut hingga merah delima jatuh menimpa kedua pipi mungil gadis berkuncir dua. “Baru pula aku sepersepuluh abad, kau pula kini berikan aku rajuk yang berujung nestapa?”. Maka terdiam lah bocah rambut berbelah samping, pikirannya kian lekat membalas letupan sastra pendek yang terlontar dari mulut gadis manis putri actor panggung sohor. Boleh dikata ayah nya pula yang menggali dasar muasal pementasan sabun di tengah kota, pula umur pementasan itu kini telah setengah lebih banyak dari dua dasawarsa. Maka kian pula bermesra dia dengan alam sadar, memanggil segala petikan omong kosong dari buku terkenal yang ditulis para bangsa barat itu. Maka kini terucap, “Tak terkira pula dara ku terbagi dalam nestapa nafas seorang pendosa gila. Maka bertanyalah serigala akan rembulan tentang kesanggupannya menerangi gelap langit esok hari?”, katanya. “Kau ingin ajak ku berkencan? Namun tak hingga larut bila aku terima ajakan ini.” balas gadis berkuncir dua.

            Maka berujunglah mereka pada langit merah keesokan hari yang sebelumnya cerah benderang. Tanpa rajuk yang terbaca benar lubuk rasa, terjalinlah kepastian diri juga kepastian bersama yang tak mampu terucap nampaknya. Dibawah langit merah pula, bocah rambut berbelah disamping kini menggandeng bocah orang ternama, bila terantuk saja tumitnya, mentari tengah siang belum tentu terlihat jelas lagi. 

Komentar

Postingan Populer