Yang Dirahasiakan Rintik Hujan Bulan Juni, Bagian. 3.
Maka di
hadapan taman, dalam dipan kecil beralas bambu renta, bocah bengal bermata
merah mulai menahan segala angan akan kasur empuk juga rantang susun lengkap
dengan nasi hangat saat berangkat kaki mungil nya ke sekolah. Namun nyatanya
tak sejumput pun ilmu ia kecap.
Pada segala
prahara juga desau hati mengharapkan tiada lahir dirinya, terlintas pelbagai
kenikmatan diri karena terlintas sepintas saja gedong – gedong yang megah
menghadap cakrawala ibukota. Lengkap pula disana impian akan segala cita nya
balas budi juga meminang gadis yang pagarnya terpaut beberapa jalan tikus dari
gubuk sederhana sang nenek juga bekal rantang juga harap – harap cemas cuaca
satu decade sejak itu karena begitu sesak napasnya dipenuhi limbah para taipan setan itu di ujung perkampungan
pinggiran Jakarta juga segala cinta hidup yang terdamba begitu hampa, begitu
hampa.
Kalau pun
bicara hampa, tak pula demikian adanya. Gadis berkuncir dua sekonyong datang
esok pagi, terpanggil rindu kecup. Suasana takdir bergemuruh hebat, diantara
raut riang di muka menghadap langit kekinian. Beranjak lah bocah bermata merah
dari dipan, lagi dihisap setarik
kretek nya, dihembus pada pipi halus gadis berkuncir dua yang lagi sekonyong
berikan peluk hangat.
Terdesir
semua, terbang melayang.
“bukan
maksudku berbagi nasib;
nasib adalah kesunyiannya masing – masing.
kupilih kau dari yang banyak”.
nasib adalah kesunyiannya masing – masing.
kupilih kau dari yang banyak”.
Komentar
Posting Komentar